Oleh: LPM UNMUHA | Januari 11, 2009

MAHASISWA SEBAGAI MORAL FORCE

Gerakan mahasiswa menurut moral force cukup sebagai gerakan mengkritisi kebuntuan politik ketika ada kebijakan pemerintah yang tidak populis dan mempelopori perubahannya. setelah itu tahap selanjutnya” eksekusi/penyelesainnya’ diserahkan kepada kekuatan elit politik. Walaupun begitu juga banyak tokoh pergerakan yang tidak sepakat, kalau mahasiswa bergerak hanya sebatas moral force. Karena, moral force. Setelah mengkritisi kebijakan elit lantas membiarkan penyelesaian akhir tetap pada tangan-tangan elit. Di sini, mahasiswa sebagai moral force layaknya seperti koboi-koboi yang menjaga masyarakat dari gangguan penjahat. Nah! Setelah masyarakat kembali aman, sepenuhnya kembali kepada masyarakat.

Diskusi rutin UKM Pers Mahasiswa Unmuha mencoba mereview kembali peran mahasiswa sebagai moral force. Dengan mengghadirkan dua aktivis mahasiswa Aceh yaitu Furqan (aktivis Kontras) dan Robi Sugara (Ketua Umum DPD IMM NAD).

Furqan menilai, di Aceh bahkan Indonesia pergerakan yang murni dilakukan oleh mahasiswa itu tidak ada. Pergerakan selama ini adalah menumpang pada pergerakan rakyat. Dia menyebutnya dengan istilah parasit. Seperti pergerakan pada tahun 1998, ketika suharto lengser. Itu sebenarnya bukan murni oleh mahasiswa. tetapi itu adalah klimaks dari tahun-tahun sebelumnya. Seperti imbas dari krisis moneter 1997. Masih menurut Furqan, yang dikatan pergerakan mahsiswa harus di bangun secara sistematis. Di mana mereka harus memiliki idiologis, kerangka berpikir, dan seterusnya diterapkan dalam keseharian. Dia menontohkan teman-teman KAMMI dan SMUR. Tetapi gerakan mahasiawa di Aceh menumpang pada pergerakan lain. Munculnya organisasi kemahasiswaan tidak terlebih dari kepentingan isu pihak-pihak tertentu. Yang terpenting menurutnya, membangun gerakan mahasiswa harus totalitas.

Pertama harus mempunyai ideologi yang jelas, selanjut membentuk pola pikir, dan terakhir diterapkan dalam peregerakan. “tetapi selama ini, saya melihat masih kurang dilakukan oleh teman-teman di organisasi mahaiswa,” Kata Furqan selanjut. Ada tiga kekuatan yang besar pada mahasiswa. Pertama, kaum terdidik, kedua, mahasiswa sudah terbiasa dengan sosialisasi politik, dan ketiga, mahasiswa adalah kelompok kirtis. Dengan kekuatan tersebut mahasiswa seharusnya mampu memposisikan diri segabai jembatan, antara pemerintah dan masyarakat. Disini mahasiswa berperan, ketika ada aspirasi masyarakat yang tidak didengar oleh pemerintah. Maka, tugas mahasiswa menyampaikan. Dan sebaliknya, apabila ada kebijakan pemerintah yang sulit dipahami oleh masyarakat. Maka, tugas mahasiswa mensosialisasikan kebijakan tersebut, dengan bahasa yang mudah dipahami.

Dia tidak sepakat kalau fungsi mahasiswa di samakan dengan fungsi pemerintahan, karena pada dasarnya tugas mahasiswa adalah belajar. Membangun gerakan atau pengabdian ilmunya setelah dia keluar dari dunia kampus.

Sedangkan Robi Sugara kurang sepakat kalau pergerakan mahasiswa dikatakan sebagai parasit. Dia melihat, melemahnya pergerakan mahasiswa pasca di bentuknya NKK/BKK oleh rezim orde baru. Akhirnya mahaiswa hidup secara berkelompok-kelompok. Nah! Pada masa sekarang, diperparah banyak mahasiswa terjebak dalam euforia politik praktis. Sehingga nilai moral force berkurang.

Membangun sebuah gerakan harus dimulai dari bawah. Artinya harus dimulai dari kampus, karena berbicara mahasiswa tidak terlepas dari kampus yang notabene tempat beraktifitas sehari-hari. Di kampus mahasiswa itu sendiri sering di zalimi oleh pihak rektorat, banyak hak-hak dasar sebagai mahasiswa di abaikan. Robi mencontohkan, Unmuha hari ini sangat jorok, fasilitas juga minim, jalanan banjir. Seharusnya mahasiswa sebagai moral force harus bersatu melawan. Hilangkan egosentris lemabaga. Semua fokus pada satu isu bersama. Lakukan negosiasi dengan pihak kampus, dan apabila aspirasi tidak di dengar maka lakukan perlawanan. “bila perlu ganti PR III-nya,” kata Robi. Bencana alam juga turut mengkikis pergerakan mahasiswa. Karena, bencana alam akan memunculkan benana sosial. Tak dapat di pungkiri pasca stunami, pergerakan mahasiswa di Aceh sudah sangat pragmatis. Mengikuti pelatihan-pelatihan, seminar, sering dimanjakan dengan imbalan moril.

Pada intinya kedua narasumber sepakat bahwa, mundurnya pergerakan mahasiswa karena tidak adanya totalitas. Dan terlalu cepat berpolitik praktis. (Zul)


Tanggapan

  1. thx 4 ur writting…


Tinggalkan komentar

Kategori